Label

Selasa, 21 Agustus 2012

Sendirian Saja

manusia merupakan makhluk multi dimensional. ia masuk golongan makhluk individual sekaligus sosial, yang memiliki keterkaitan secara spiritual dan emosional.

namun, jika anda mencermati kembali, pada dasarnya manusia ditakdirkan sendiri. manusia dilahirkan ke dunia hanya seorang diri. berada di rahim seorang ibu, pun sendirian. setelah mati, pada saat dikuburkan, kita akan didatangi oleh malaikat dalam kondisi sendirian. dan, saat menghadapi pengadilan sesudah mati. kondisi yang --sebagaimana dikisahkan dalam teks suci-- memungkinkan berhadapan dengan Tuhan untuk mempertanggungjawabkan setiap perbuatan dalam kondisi sendirian.

dari sekian banyak kondisi tersebut, terdapat beberapa pengecualian. hanya bayi kembar yang dilahirkan tidak sendirian. hanya korban musibah massal yang akan dikuburkan dengan berdesakan ("kiri empat, kanan tujuh" ungkapan kernet di terminal Krian, Sidoarjo) di liang kubur yang sama. dalam ruang sempit dan berdesakan tersebut, sepertinya Malaikat divisi kubur harus membuat antrean untuk menertibkan jiwa-jiwa yang sedang menuju keabadian.

dan, hanya penghuni neraka yang akan mendapat balasan dan siksaan secara massal. bukankah banyak dikisahkan, para penghuni surga adalah kalangan elit yang telah mendapat jatah istana secara personal. disebutkan, "mereka (para penghuni surga) dalam kondisi yang nyaman dan bergelimang kenikmatan, sembari melempar pandangan di atas singgasana masing-masing" 83:22-23.

06 Feb 2007

Kamis, 16 Agustus 2012

Puasa Misuh

kali ini, saya menceritakan kisah nyata dari seorang sahabat. ia masih sangat hidup saat tulisan ini dibuat. mari kita sebut saja ia sebagai "Jaka".  saya menaruh keyakinan penuh ia masih mampu menjaga "keperjakaannya" di lingkungannya yang "basah".

seperti kebanyakan orang etanan, Jaka memiliki watak keras dan tegas. meski secara pribadi saya lebih meyakini kata terakhir yang kupilih, beberapa teman mengartikan sikap-sikap Jaka sebagai perwujudan kata "keras" yang merujuk pada idiom-idiom: keras kepala, watak keras, intoleran, egois dan lain sebagainya. di luar semua itu, bagiku ia sangat menjungjung tinggi persahabatan.

gaya bicaranya yang meletup-letup terkesan tidak cocok dengan kisah hidupnya yang telah menahun di Yogyakarta. kurasa, kesan kalem Yogyakarta tidak banyak membantunya keluar dari logat ibu pertiwinya. logat dan gaya bicaranya ini sering membatasi orang baru untuk mendekat dan mengenalnya. itulah sebab jarang ada wanita baru yang mendekat kepadanya.

statusnya yang telah resmi menjadi sarjana pada empat bulan yang lalu tidak banyak mengubah gayanya; mulai dari berpakaian dan menanggapi teman baru. di satu waktu, ia sangat cocok dengan setelan resmi. menegaskan kelas dan sikapnya yang tegas. di kesempatan lain, ia pun pantas mengenakan celana kasual dan kaos oblong kesukaannya yang telah menguning.

kontradiksi sikapnya akan sulit diterjemahkan, mengingat kesukaannya dalam misuh (biasanya diterjemahkan sebagai "berkata kotor") dan kalimah toyyibah (dzikir atau ucapan-ucapan baik yang biasanya dirapal oleh umat Islam sebagai doa). ya, di banyak kesempatan akan mudah didapati Jaka menyumpah serapah ala wong etanan. pun, jika anda mencermatinya, bibirnya sering bergetar mengucap istighfar, tasbih, tahmid bahkan tahlil. "kontradiktif" adalah kata yang mampu menyederhanakan keanehan Jaka.

pada bulan ramadlan, bulan yang disucikan oleh umat islam, sikap yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh Jaka. di bulan yang mewajibkan setiap pemeluk islam berpuasa, tidak akan didapati serapah yang keluar dari mulut Jaka. sebagai seorang sahabat dekat, saya tidak banyak mempertanyakan jalan hidupnya. dengan sedikit berasumsi, saya hanya menyangka ia sedang malas misuh atau sekedar menghormati job ceramahnya yang membeludak di bulan penuh berkah itu.

di satu waktu saat kami berkumpul menikmati hidangan buka puasa, salah seorang teman bertanya mengenai keanehan tersebut. "dungaren, kok ga misuh? wis tobat po??" dengan senyum khasnya, Jaka menjawab singkat, "hormatilah bulan puasa". 

Jumat, 10 Agustus 2012

Jalan Panjang Sebuah Cinta

Perjalanan hidup tidak semudah prediksi. Lihat saja permainan sepakbola, prediksi hanyalah perkiraan di atas kertas. Mental, semangat, sikap pantang menyerah yang disertai keyakinan akan potensi diri adalah resep kemenangan Manchester United atas Bayern Munich lima tahun silam. Kemenangan prediksi selama 90 menit dibuyarkan oleh resep tersebut selama 92 menit.

Posisiku hari ini 'tak ubahnya MU dihadapan Bavarian. Bagas lebih dipertimbangkan --dengan segala kelebihan dan yang dimilikinya-- dibanding Bagus; diriku. Kemiripan nama yang tidak memberikan kesempatan takdir yang hampir sama.

Untuk itulah, aku mencoba menyiangi semangat, tekad dan keyakinanku --seperti yang telah dicontohkan tim kesayanganku lima tahun lalu-- terhadap kedua orang tuaku. Aku adalah satu-satunya anak mereka yang tidak dapat menikmati kursi dan bangku sekolah. Dibanding keempat saudaraku yang lain, Bagas adalah perbandingan yang paling sering diperhadapkan padaku. Selain usia yang sama, kami secara keseluruhan adalah pribadi yang sangat berbeda. Jika Bagas adalah dewa yang bergelimang pujian, maka aku hanyalah manusia sederhana yang hidup memijak di atas tanah.

Pada dasarnya, kedua orang tuaku 'tak pernah membatasiku dengan memaksaku untuk menikmati suasana perkuliahan. Mereka bahkan menceritakan kisah tololku --menyabung nyawa menyelamatkan para korban reruntuhan gempa-- beberapa minggu lalu di Yogyakarta. Aku 'tak pernah tahu mimik mereka saat menceritakannya.

Tidak seperti Bagas dan saudaraku yang lain, aku dan kedua orang tuaku jarang bercengkerama. Mereka lebih menyukai sepoci teh dibanding secangkir kopi; minuman kesukaanku. Itulah salah satu sebab yang menjadikanku lebih banyak tidak berada di rumah. "Hati-hati dan tetap mawas menjaga diri", itulah kalimat sakti titipan mereka yang selalu kujaga tanpa banyak bertanya makna dan teknik aplikasinya.

Di sebuah dluha, kisaran jam 10 pagi, takdir mempertemukan perbincangan hangatku dengan kedua orang tuaku. Dimulai dari Ibuku yang membawakanku secangkir kopi susu dari dapur. Wajahnya selalu tampak lebih segar setelah berwudlu. "Nih, minum dulu kopimu", Ibu menyodorkan cangkir yang menebarkan harum wangi kopi susu. "Usai salat dluha tadi ayahmu bercerita detil aksi heroikmu di Yogyakarta kemarin," senyum ibuku menyiratkan lebih banyak makna daripada kalimat panjang yang tidak begitu detil kutangkap maksudnya.

Ayahku mendatangiku sembari mengulurkan tangan yang segera kucium. "Ayah keluar sebentar, bu, ada teman yang mesti ditemui", sembari mencium kening ibu yang mulai menampakkan kerut yang saling terkaut. "Kamu masih di rumah, khan? Kalo iya, besok ayah akan mengajak kamu menemui teman ayah yang --mungkin-- akan kamu sukai; ia seorang aktifis sosial sejak masa mudanya dulu", tatap ayah padaku. Seperti yang telah lalu, tidak banyak kata yang keluar dari mulutku. Anggukanku meyakinkan ayah untuk segera meraih kunci kendaraannya yang telah menunggu ayahku.

Setelah itu, perbincanganku dengan Ibu tetap tidak dapat kusimpan banyak dalam ingatanku. Hanya kalimat sederhana yang dapat menempel dalam memori ingatanku, "Cinta adalah sebuah jalan panjang; yang tidak banyak berkata dan tidak juga menyimpan dalam diam". Lamat-lamat, aku mencoba mengingat-ingat. "Jalan panjang sebuah cinta", kurasa aku terlalu padat dalam mengingatnya.

Minggu, 05 Agustus 2012

sugeng rawuh

selamat datang di kedainahdli.blogspot.com. yang menjadi rumah bagi setiap kisah, imajinasi dan ide-ide [jika memang pantas disebut "ide"].

tulisan-tulisan disini sangat sederhana, mungkin hanya seputar kisah ngopi di kedai kecil atau sekedar angkringan. kisah khayalan maupun yang berlatar kenyataan.

beberapa hari yang lalu, saya pernah memposting terapi membaca di salah satu jejaring sosial --facebook.

saya rasa, membaca dan menulis itu sama sebagaimana makan dan buang air besar. jika anda makan, maka akan mengharuskan anda untuk buang air besar. hal ini murni disadasarkan pada kesehatan. seperti itulah adanya membaca dan menulis. analogi ini pun didasarkan pada kesehatan [lebih khususnya, kesehatan memori].

selebihnya, selamat menikmati; baik sekedar membaca, mengkritisi hingga memberikan sedekah masukan