Perjalanan hidup tidak semudah prediksi. Lihat saja permainan sepakbola, prediksi hanyalah perkiraan di atas kertas. Mental, semangat, sikap pantang menyerah yang disertai keyakinan akan potensi diri adalah resep kemenangan Manchester United atas Bayern Munich lima tahun silam. Kemenangan prediksi selama 90 menit dibuyarkan oleh resep tersebut selama 92 menit.
Posisiku hari ini 'tak ubahnya MU dihadapan Bavarian. Bagas lebih dipertimbangkan --dengan segala kelebihan dan yang dimilikinya-- dibanding Bagus; diriku. Kemiripan nama yang tidak memberikan kesempatan takdir yang hampir sama.
Untuk itulah, aku mencoba menyiangi semangat, tekad dan keyakinanku --seperti yang telah dicontohkan tim kesayanganku lima tahun lalu-- terhadap kedua orang tuaku. Aku adalah satu-satunya anak mereka yang tidak dapat menikmati kursi dan bangku sekolah. Dibanding keempat saudaraku yang lain, Bagas adalah perbandingan yang paling sering diperhadapkan padaku. Selain usia yang sama, kami secara keseluruhan adalah pribadi yang sangat berbeda. Jika Bagas adalah dewa yang bergelimang pujian, maka aku hanyalah manusia sederhana yang hidup memijak di atas tanah.
Pada dasarnya, kedua orang tuaku 'tak pernah membatasiku dengan memaksaku untuk menikmati suasana perkuliahan. Mereka bahkan menceritakan kisah tololku --menyabung nyawa menyelamatkan para korban reruntuhan gempa-- beberapa minggu lalu di Yogyakarta. Aku 'tak pernah tahu mimik mereka saat menceritakannya.
Tidak seperti Bagas dan saudaraku yang lain, aku dan kedua orang tuaku jarang bercengkerama. Mereka lebih menyukai sepoci teh dibanding secangkir kopi; minuman kesukaanku. Itulah salah satu sebab yang menjadikanku lebih banyak tidak berada di rumah. "Hati-hati dan tetap mawas menjaga diri", itulah kalimat sakti titipan mereka yang selalu kujaga tanpa banyak bertanya makna dan teknik aplikasinya.
Di sebuah dluha, kisaran jam 10 pagi, takdir mempertemukan perbincangan hangatku dengan kedua orang tuaku. Dimulai dari Ibuku yang membawakanku secangkir kopi susu dari dapur. Wajahnya selalu tampak lebih segar setelah berwudlu. "Nih, minum dulu kopimu", Ibu menyodorkan cangkir yang menebarkan harum wangi kopi susu. "Usai salat dluha tadi ayahmu bercerita detil aksi heroikmu di Yogyakarta kemarin," senyum ibuku menyiratkan lebih banyak makna daripada kalimat panjang yang tidak begitu detil kutangkap maksudnya.
Ayahku mendatangiku sembari mengulurkan tangan yang segera kucium. "Ayah keluar sebentar, bu, ada teman yang mesti ditemui", sembari mencium kening ibu yang mulai menampakkan kerut yang saling terkaut. "Kamu masih di rumah, khan? Kalo iya, besok ayah akan mengajak kamu menemui teman ayah yang --mungkin-- akan kamu sukai; ia seorang aktifis sosial sejak masa mudanya dulu", tatap ayah padaku. Seperti yang telah lalu, tidak banyak kata yang keluar dari mulutku. Anggukanku meyakinkan ayah untuk segera meraih kunci kendaraannya yang telah menunggu ayahku.
Setelah itu, perbincanganku dengan Ibu tetap tidak dapat kusimpan banyak dalam ingatanku. Hanya kalimat sederhana yang dapat menempel dalam memori ingatanku, "Cinta adalah sebuah jalan panjang; yang tidak banyak berkata dan tidak juga menyimpan dalam diam". Lamat-lamat, aku mencoba mengingat-ingat. "Jalan panjang sebuah cinta", kurasa aku terlalu padat dalam mengingatnya.