Label

Kamis, 16 Agustus 2012

Puasa Misuh

kali ini, saya menceritakan kisah nyata dari seorang sahabat. ia masih sangat hidup saat tulisan ini dibuat. mari kita sebut saja ia sebagai "Jaka".  saya menaruh keyakinan penuh ia masih mampu menjaga "keperjakaannya" di lingkungannya yang "basah".

seperti kebanyakan orang etanan, Jaka memiliki watak keras dan tegas. meski secara pribadi saya lebih meyakini kata terakhir yang kupilih, beberapa teman mengartikan sikap-sikap Jaka sebagai perwujudan kata "keras" yang merujuk pada idiom-idiom: keras kepala, watak keras, intoleran, egois dan lain sebagainya. di luar semua itu, bagiku ia sangat menjungjung tinggi persahabatan.

gaya bicaranya yang meletup-letup terkesan tidak cocok dengan kisah hidupnya yang telah menahun di Yogyakarta. kurasa, kesan kalem Yogyakarta tidak banyak membantunya keluar dari logat ibu pertiwinya. logat dan gaya bicaranya ini sering membatasi orang baru untuk mendekat dan mengenalnya. itulah sebab jarang ada wanita baru yang mendekat kepadanya.

statusnya yang telah resmi menjadi sarjana pada empat bulan yang lalu tidak banyak mengubah gayanya; mulai dari berpakaian dan menanggapi teman baru. di satu waktu, ia sangat cocok dengan setelan resmi. menegaskan kelas dan sikapnya yang tegas. di kesempatan lain, ia pun pantas mengenakan celana kasual dan kaos oblong kesukaannya yang telah menguning.

kontradiksi sikapnya akan sulit diterjemahkan, mengingat kesukaannya dalam misuh (biasanya diterjemahkan sebagai "berkata kotor") dan kalimah toyyibah (dzikir atau ucapan-ucapan baik yang biasanya dirapal oleh umat Islam sebagai doa). ya, di banyak kesempatan akan mudah didapati Jaka menyumpah serapah ala wong etanan. pun, jika anda mencermatinya, bibirnya sering bergetar mengucap istighfar, tasbih, tahmid bahkan tahlil. "kontradiktif" adalah kata yang mampu menyederhanakan keanehan Jaka.

pada bulan ramadlan, bulan yang disucikan oleh umat islam, sikap yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh Jaka. di bulan yang mewajibkan setiap pemeluk islam berpuasa, tidak akan didapati serapah yang keluar dari mulut Jaka. sebagai seorang sahabat dekat, saya tidak banyak mempertanyakan jalan hidupnya. dengan sedikit berasumsi, saya hanya menyangka ia sedang malas misuh atau sekedar menghormati job ceramahnya yang membeludak di bulan penuh berkah itu.

di satu waktu saat kami berkumpul menikmati hidangan buka puasa, salah seorang teman bertanya mengenai keanehan tersebut. "dungaren, kok ga misuh? wis tobat po??" dengan senyum khasnya, Jaka menjawab singkat, "hormatilah bulan puasa". 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar