Label

Kamis, 27 September 2012

Sepotong Senyum

Mak Yah bukanlah Mak Lampir seperti yang kukenal tujuh tahun silam. Orang tua bau tanah yang suka melarangku pergi ke tambak di pekarangan rumah. Parahnya, tumah itu adalah rumahku --tepatnya, milik orang tuaku-- sendiri. Keriput dan ubannya adalah mimpi buruk sepekan penuh tiap libur panjang sekolah. Tidak seperti kebanyakan temanku saat itu, yang menakuti sosok Dalbo, Genderuwo, maupun Buto, yang kesemuanya adalah makhluk beda wujud. Persamaan ketakutanku dengan teman-temanku hanyalah pada sosok Mak Lampir, hanya saja bagi mereka Mak Lampir itu sama seperti Dalbo dan Buto; 'tak kasat mata. Sedang, Mak Lampirku sungguh nyata yaitu Mak Yah, Nenekku dari jalur Ibuku.

Ketakutan masa kecilku bukanlah pengalaman pribadi, yang hanya aku seorang yang mengalami. Warga satu dusun --atau, mungkin juga satu desa--  yang tinggal bersama Mak Yah tidak pernah berani membantah. Mak Yah berkata "A", maka jadilah. Mak Yah berkata "ya", maka secara keseluruhan akan mengikutinya. Mak Yah adalah Mak Lampir paling nyata.

Tujuh tahun lamanya kami 'tak pernah bersua dan bertegur sapa. Gambaran masa kecilku tentang dia sepertinya sangatlah tepat; ia benar-benar Mak Lampir dalam wujud nyata! Mak Yah 'tak tersentuh oleh modernitas alat komunikasi. Hanya seonggok pesawat telpon tua --yang cara penggunaannya mengharuskan kita memutar-mutar angka-- yang menjadi penanda bahwa ia tidak benar-benar hidup di jaman revolusi eropa.

Masa kuliah S1 dan S2 benar-benar menyelamatkanku dari bencana Lampir Tua Bangka. Selama itu pula, berangsur mimpi burukku menjadi mimpi indah para remaja. Aku mulai mengkhayalkan Dodi yang tegap dan bidang postur tubuhnya. Atau sekedar mencurigai Andi yang lebih sering bersama teman cowoknya daripada menerima ajakan 6 bidadari dari Fakultas Ekonomi Universitas kami. Ya, keenam teman dekatku pernah menjadikan Andi sebagai target sayembara "Ratu" dari Ketujuh Bidadari. Dan, aku yang pertama melambaikan tangan tanda menyerah.

selama mas kuliah itu pula, aku 'tak pernah merindukan seringai tawa  Lampir Tua. Meski Mak Yah selalu menitipkan salam dan sesisir pisang susu kesukaanku, aku hanya membalas senyum dan ucapan terima kasih melalui kurir-kurir orang tuaku. Kemudian mereka akan berlalu pergi seraya tanpa banyak bertanya, dimana keesokan harinya menerjemahkan "kerinduan" singkat cucu kesayangan kepada Neneknya yang telah berada di ujung renta.

Hari ini adalah hari ulang tahun Mak Yah yang ke ... ehm, sepertinya aku lupa. Kain batik yang kubungkus semalam, pun, 'tak kuberi penanda. Ini bukanlah kelalaian, aku adalah orang-yang-Teliti-dan Cermat. Tidak ada satupun yang pernah terlewat. Kado kali ini sama seperti kado-kado bertahun yang lalu. Tanpa Penanda. Setidaknya, dengan tanpa batasan dapat memungkinkan pemaknaan yang seluas samudera.

"Ibu!!", sapaan ini telah kumulai sejak kecil dan takkan kurubah meski aku telah membeli enam kendaraan mewah; setidaknya aku telah membeli tiga. Diujung lorong, sayup terdengar balasan, "ada apa, Mona? Ibu musti menunggui ovenan kue kesukaan nenekmu." Jika aku tidak segera menghambur ke dapur, aku percaya tidak lama lagi ketiga kendaraan mewahku akan menjadi batu!

"Bu, hari ini ultah Mak Yah yang ke- 89 yah?", kusunggingkan senyum manis tercantikku. "Kamu sedang lupa atau menggoda? Seingat Ibu, kamu 'tak pernah lupa dengan deretan angka-angka", sepertinya Ibu menyidirku. Akupun menukas, "ayolah, peluang kealpaan manusia masih terbuka, khan??"

Mak Yah sama sekali tidak terkejut dengan kedatangan kami. Tentu saja,  selain hari raya, hari ini adalah hari rutin tahunan kami menjenguknya. Dari semua kado yang diterimanya, senyum lebarnya adalah bertepatan saat membuka kado kecilku; kain batik berwarna putih. Sambil merangkulku, ia mengecupi seluruh wajahku; dahi, kedua pipi dan hidung mancungku. Bisikan hangat Mak Yah terdengar jelas di telinga kananku, "Tujuh tahun ini, kedatanganmulah yang paling kutunggu". Masih tergagap dengan kehangatan itu, kulihat dengan jelas seutas senyum termanis yang pernah mampir di wajah Nenekku, Mak Yah.

Senyum kagetku ternyata cukup menjawab semua "sambutan-tujuh-tahun" yang mendadak dan 'tak pernah kusangka. Sepertinya, aku sedang bertemu dengan Dewi Sri bukan Mak Lampir lagi. Di sela  menggumpalnya air kebahagiaan di pelupuk mataku, batinku mengucap "Sepotong senyummu lebih manis dari pada jumlah keseluruhan pisan susu yang kau kirimkan, Nek".

****

Ode buat seorang kawan, "baik-baiklah dengan nenekmu, mungkin kau belum pernah kehilangan cinta yang 'tak pernah renta"

1 komentar:

  1. Hidup itu layaknya tayangan drama, aku lantas menyimpulkan. Ada tokoh, ada konflik, ada perdebatan, ada rasa saling memiliki, ada kenangan. Merangkum itu semua, ada episode-episode yang terlebih dahulu harus kamu tinggal di belakang, untuk kemudian membantumu melangkah maju. Tidak ada yang salah dengan meninggalkan tanpa menengok kembali, karena sejumlah episode tersebut memang sudah lewat, sudah kadaluwarsa, sudah mengotak dalam satu sudut pikir bernama kenangan.

    posting kali ini,,sangat keren..awal aq masih binggung dgn apa sebenarnya alur cerita ini,, tp... namanya juga penasaran..maka aq pun tetp ingin berlanjut membaca dan mencoba menikmati,,, dan kata terakhir sungguh mnyejukkan aq,,,hahaha kata akhir q asem,,!!!

    BalasHapus